Senin, 07 Maret 2011

Asal usul gadis kecil

oleh: Susi Nuryanti

pada 07 Maret 2011 jam 15:10

Aku terlahir sebagai anak desa yang letaknya terpencil, cukup dekat dengan kaki gunung Muria. Pemandangan didesaku masih sangat asri, bebas dari polusi udara. ketika cuaca cerah, di pagi hari aku bisa memandangi angkuhnya Muria. Wow, benar-benar indah dan semakin menakjubkan dengan hamparan pepohonan hijau dan padi yang menguning di depan mata.

Masa kecilku murni kuhabiskan di desaku itu, jarang kemana-mana. bahkan sampai sekarang pun jika ke kota Jepara, aku tidak hafal jalan, hanya menebak-nebak saja. Aku anak pingitan. Hendak mengerjakan tugas kelompok di rumah teman semasa SD saja temanku menjadi korban, dimarahi habis-habisan oleh ibuku. Ya, terserahlah,, itu jalan pikiran orang tuaku.

Aku kadang iri sama teman-temanku yang bisa saja seenaknya bermain kesana kesini tanpa pamit. Huhhh,, jadinya aku menjadi penakut dalam melakukan banyak hal. Di dalam hati ingin sekali bilang ini itu mau ini itu sama bapak ibuku, tapi takut. Akhirnya kupaksakan, dan lama-lama menjadi cukup nyaman dengan peran sebagai anak manis, gadis kecil imut yang baik tapi tidak bisa melucu karena tidak bisa bermain apa-apa.

Bapakku seorang tukang kayu. Beliau sangat profesional di bidangnya. Karya-karyanya indah, menarik, dan kreatif. Bagiku, apa yang ia ciptakan tidak berawal dari kemapanan, justru dari ketiadaan. Beliau piawai dalam menggabungkan bahan-bahan seadanya, baik yang baru, bekas, maupun limbah, untuk dijadikan sebuah benda yang menarik dan bermanfaat. Jika mungkin Tuhan memberikan keberadaan bagi bapakku, karir beliau di bidang permebelan bisa lebih dari yang sekarang. Sekarang beliau tetap menjadi tukang kayu, musiman. Musiman jika ada order, jika tidak, beliau menjelma menjadi petani beberapa petak sawah dan peternak beberapa kambing yang kami punya.

Semasa kecilku, beliau bekerja di kota. Pulangnya satu menggu sekali, di hari Jumat. Aku masih ingat, suatu ketika aku menangis karena ingin bertemu dengan beliau. Akhirnya tetanggaku yang memiliki kendaraan bermotor(waktu itu masih jarang sekali orang punya motor) mengantarku bersama ibuku ke kota untuk menyusul bapakku.

Ibuku awalnya seorang ibu rumah tangga. Beliau juga sempat disibukkan oleh tugasnya sebagai kader pkk desa. Semasa kecilku, beliau sering tidak di rumah. Kata Makdeku, aku sering dititipkan. Maka dari itu, aku sering nyusu makdeku, kadang rebutan dengan sepupuku. Setelah usiaku besar, kira-kira kelas 4 atau 5 SD, ibuku semakin tekun belajar ilmu perdukunan bayi, mulai memijat hingga membantu proses persalinan. Hingga sekarang beliau masih menjalani profesi itu. Di desaku tidak ada sistem rahasia mengenai pengguguran kandungan atau semacamnya, sehingga para dukun bayi di sana sangat dipercaya sebagai orang-orang yang profesional.

Aku pikir, dulu aku akan menjadi anak tunggal, ternyata kelas 3 SD adikku lahir. Namanya Liko. Ada rasa senang, tapi juga tidak senang. Rasa senang karena aku punya teman untuk digodai hingga menangis. hahaha. Rasa tidak senang, entah kenapa, dulu. dulu sekali, rasa kasih sayang itu tidak pernah tumbuh. Sekarang jadi merasa bersalah,, apa pun ingin yang terbaik untuk si Liko.