Kamis, 01 Desember 2011

Plajan, Desa Gundul Menjelma Jadi Desa Wisata

Kisah Pahlawan Penghijauan yang Menerima Penghargaan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (2), Desa Plajan dijuluki desa hutan, dengan 42 persen atau 455 hektare (ha) dari luas desa 1.044 ha dijadikan hutan rakyat. Dulu lahan desa di pelosok Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, ini kritis dan gundul. Di tangan Marwoto, desa itu menjelma asri dan ramai dikunjungi wisatawan.

MARWOTO, 42, sudah kali kedua ini menjabat sebagai Kepala Desa (Kades) Plajan, Kecamatan Pakis Aji, Jepara-Jawa Tengah. Tak dinyana, desa yang dipimpinnya itu keluar sebagai juara satu Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari Tingkat Nasional 2011. Marwoto menyampaikan, mulanya, ia dan masyarakat hanya ingin desanya jadi hijau dan tak kering lagi. “Tahu-tahu menang, ya, Alhamdulillah,” ujarnya sembari tersenyum. Dulu, lahan desa di lereng Gunung Muria itu gundul dan kritis.

Di musim kemarau sumber mata air mengering, sebaliknya musim hujan banjir. Kerap juga terjadi longsor, penduduk sulit mencari kayu bakar serta makanan ternak. Buntutnya, mereka merambah hutan lindung. Jika dibiarkan, bisa menyebabkan kerusakan yang lebih luas. Satu-satunya jalan, penduduk desa mesti lekas disadarkan dan dibina tentang arti penting hutan bagi kelangsungan hidup. Tahun 2001, pria berkaca mata itu mulai merintis gerakan penghijauan di desa yang dihuni 2.260 kepala keluarga tersebut. Saat program penanaman pohon diutarakan, sebagian menolak dan tak yakin bakal berhasil. “Awalnya susah. Diarahkan menanam jati dan mahoni, katanya lama umurnya. Pohon sengon, mereka tanya nanti siapa yang beli?” ucap bapak tiga anak ini. Penanaman pohon itu hanya dilihat dari sisi ekonomis saja.

“Padalah juga ada sisi ekologi dan kehidupan sosialnya,” lanjutnya. Marwoto tetap beranjak. Secara intensif, ia melakukan sosialisasi penanaman pohon. Dari tahun 2001-2005, penanam terus dilakukan. Dari anggaran belanja desa dan swadaya masyarakat, didatangkan bibit-bibit dari luar kota Jepara, seperti Solo. Dia merancang hutan rakyat swadaya seluas 450 ha atau 42 persen dari luas desa. Berbekal pengetahuan dari latihan yang pernah ia ikuti. Marwoto mengajarkan bagaimana menanam pohon yang benar. Mulai pembuatan lubang dan pemupukan. Waktu berlalu, tanpa disadari, usaha Marwoto dan penduduk mulai terlihat. Desa Plajan berubah menjadi kawasan hijau royo-royo. Bukan hanya itu, pohon yang ditanam masyarakat sudah bisa dipanen untuk dijual. Hebatnya lagi, muncul 46 titik sumber mata air baru untuk air bersih dan pengairan serta kolam ikan.

Marwoto sumringah melihat kesulitan warganya sirna. Pasalnya, kini mereka tak lagi kelimpungan mendapatkan air atau tanaman untuk pakan ternak. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bangga dengan prestasi orang seperti Marwoto. Air itu disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Kegiatan masyarakat bercocok tanam di sawah yang sempat mandek lantaran krisis air, mulai dilanjutkkan. Melihat untung berlipat tersebut, penduduk desa yang berada di ketinggian 400 di atas laut itu, tak segan membibit masal. “Ini adalah kisah inspiratif yang bisa dicontoh oleh orang lain di seluruh negeri ini,” kata Zulkifli Hasan. Dia menuturkan, swadaya masyarakat menjadi sangat luar biasa mulai 2005. Mereka beramai-ramai membibit tanaman sengon, kakao, mahoni, jati, dan aren. “Plajan menjadi hutan desa,” katanya bangga. Dia mengkaim, di Plajan kini sudah tidak ada lagi istilah lahan tidur. Bahkan, mencari lahan baru untuk menanaman pohon sekarang mulai sulit karena sudah penuh ditanami.

http://www.indopos.co.id/index.php/index-catatan-zulkifli-hasan/14969-plajan-desa-gundul-menjelma-jadi-desa-wisata.html

Jumat, 18 November 2011

Desa Plajan Jepara Tak Henti Gali Potensi

Jepara, Pemerintah dan masyarakat Desa Plajan Kecamatan Pakis Aji Kabupaten Jepara terus mengembangkan segala potensi yang dimiliki desa. Tidak hanya menggarap warisan budaya dan wisatanya, tetapi juga potensi ekonominya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jateng Kukrit Suryo Wicaksono menyebut desa itu sebagai desa sarat prestasi membanggakan.

"Bersama masyarakat, pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, perlahan-lahan namun terarah, kami menjaga potensi yang sudah ada. Ini bersama Kadin dan Dinas Kehutanan Perkebunan memberi kami kesempatan untuk mengembangkanm potensi perkebunan. Kami menyambut baik," kata Petinggi (Kepala Desa) Plajan, Marwoto di sela-sela acara "Jepara's Coffee Planting Day 2011" yang diselenggarakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jepara, Kadin Jateng dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jateng di Desa Plajan, Kamis (17/11) siang.

Acara itu dihadiri Bupati Jepara Hendro Martojo, Ketua Kadin Jateng Kukrit Suryo Wicaksono, Ketua Badan Pengurus Daerah AEKI Jateng Theng Hong Sioe, Wakil Ketua DPRD Aris Isnandar, Kepala Dinas Hutbun Jepara Sujarot, Ketua Kadin Jepara Adi Sucipto Musa, para camat, petinggi desa, dan kelompok tani.


Desa Plajan memiliki luas 1.044,5 hektare dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan air laut. Desa berpenduduk 7.453 jiwa itu berhawa cukup sejuk, yakni rata-rata 25 derajat celcius. Desa ini memiliki sejumlah warisan budaya, di antaranya masih terus dijaga seni emprak.

Di desa itu juga ada bangunan tempat ibadah seperti pura, masjid, gereja, dan vihara. Tak pelak, desa itu kerap disebut sebagai desa dengan tingkat toleransi beragama yang tinggi.

Sempat Mendunia

Beberapa tahun lalu, desa itu mendunia berkat replika Gong Perdamaian Dunia dari desa itu yang ditempatkan di banyak negara. Di Desa itu dirawat situs Gong Perdamaian Dunia yang dilengkapi dengan tanah dari 200 negara.

Marwoto mengatakan pada 2005 lalu, pihak pemerintah desa bersama masyarakat meluncurkan wisata baru, yakni Akar Seribu. Objek wisata Akar Seribu itu ebrupa pohon besar dengan banyak sekali akar yang tampak. Objek itu dikelilingi rerimbunan pohon kayu-kayuan, seperti mahoni, jati dan sengon.

"Masyarakat luar kota sudah mulai datang ke objek wisata ini. Mereka rekreasi keluarga dan makan bersama di lokasi yang teduh ini," kata Marwoto.

Tahun 2011 ini, Desa Plajan meraih juara nasional Desa Peduli Hutan. Pemkab bersama Kadin Jateng mencanangkan penanaman kopi untuk mengoptimalkan potensi usaha perkebunan desa itu. Potensi perkebunan kopi di desa itu mencapai 120 hektare.

Hendro Martojo menyatakan kreasi dan kesadaran masyarakat menjadi kunci perkembangan dinamis sebuah desa. Kukrit Suryo Wicaksono menyebut Plajan sebagai desa sarat prestasi. "Masyarakat Plajan bisa mewujudkan mimpinya untuk lebih dikenal luas lewat kopi. Ini akan berpengaruh pada perekonomian masyarakat desa ini," katanya.

( Muhammadun Sanomae / CN27 / JBSM )
sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/11/17/102060/Desa-Plajan-Jepara-Tak-Henti-Gali-Potensi#

Minggu, 09 Oktober 2011

Berani Bermimpi! Ekonomi Bukan Penghalang Prestasi


Oleh: Ahmad Nasikun

“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. “ (Arai) – Andrea Hirata (Sang Pemimpi)

Diperlukan tempaan hebat untuk membentuk intan dari karbon; kerja keras dan ketegaran menghadapi segala tantangan menjadi harga mati. Begitulah prinsip dasar hidupku. Nilai dasar yang selalu menjadi acuanku untuk berpijak ketika aku mulai goyah dari tujuanku. Bagi orang desa dari keluarga sederhana dengan segala keterbatasan, tidak ada jalan lain selain kerja keras untuk mencapai mimpimimpi masa depan-ku.

Aku sungguh sangat beruntung mempunyai Bapak-Ibu yang selalu mencontohkan karakter kegigihan dalam setiap kegiatan mereka serta tetap tabah menghadapi kesulitan hidup yang tak henti-hentinya menjamahi kami, para wong cilik. Merekalah sumber inspirasiku. Merekalah yang selalu kubayangkan ketika hati ini sedang butuh motivasi. Merekalah teladanku!

Meletakkan Batu Pertama untuk Membangun Rumah Mimpi
Aku lahir dan menikmati masa kecilku di desa Plajan. Desa terpencil di kecamatan Pakis Aji, Kabupatan Jepara, Bumi Ibu Kartini; sekitar dua setengah jam dari Semarang. Saat aku kecil, listrik belum masuk desa ini, sehingga lampu senthir berbahan bakar minyak tanah lah yang menerangi malam-malam di desa kami. Jalan desa pun masih bermotifkan batu-batu dan tanah, aspal belum sampai ke desa yang berjarak 20 km dari kota Jepara tersebut. Tiap pagi, aku dan temanteman SD-ku harus berjalan menyusuri jalan tersebut dengan kaki telanjang, mengenakan sepatu ke sekolah belum menjadi kewajiban dalam belajar. Pun, kami juga tidak begitu mampu membeli sepatu. Yang penting kami bisa sekolah.

Aktivitas sekolah kami sangat berbeda dengan siswa di di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau kota-kota lain; kami lebih banyak bermain kelereng, gundu, dan kasti dibanding belajar, bahkan ketika kami sudah kelas 6. Pada waktu istirahat sering memanfaatkannya untuk menyelam menangkap ikan dengan tangan-tangan terampil mereka di bendungan (waduk) dekat sekolah kami. Yah, beginilah nasib kami di salah satu sekolah tertinggal di desa Plajan.

Nasib mulai berubah ketika aku dan dua rekanku berhasil menjuarai lomba cerdas-cermat tingkat desa. Kecil memang, tapi cukup untuk membuat kami bangga akan sekolah kami, mengalahkan 4 SD dan 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah) lain yang lebih mapan. Kemudian aku diminta mengikuti seleksi olimpiade Matematika. Dari tingkat desa, kadin, sampai kecamatan dengan rahmat Allah dan ketulusan dukungan serta bimbingan guru-guru SD ku, aku melenggang mulus sebagai juara 1 tingkat kecamatan. Hal yang tak pernah diprediksikan oleh
Depdikbud kecamatan Mlonggo (ketika itu belum berubah menjadi kemendiknas), bahkan guru-guru di SD-ku. Kecamatan Mlonggo pun menempatkanku pada unggulan pertama pada kompetisi tingkat kabupaten karena hanya 1 wakil perlomba yang berhak maju ke tingkat provinsi. Alhamdulillah, siswa itu adalah aku, meskipun tidak bisa berbuat banyak menghadapi kejeniusan anak-anak kota dengan pendidikan yang lebih matang di perkotaan. Air mata kekalahan pun mengucur deras dari bocah lugu ini, saat aku harus menerima kekalahan ini di
asrama haji Donoyudan, Boyolali.

Laksana Bambu, Membangun Akar yang Kuat Dahulu....
Ketika lulus SD, yang ada dalam benakku hanyalah melanjutkan ke SMP Kosgoro di dekat rumah, SMP dengan kurang dari 30 siswa per-kelasnya. Bukan karena target mereka sebanyak itu, tetapi karena anak kecil di tempat kami lebih memilih untuk langsung menjadi tukang kayu dibandingkan dengan sekolah lagi. Dengan bekerja, kami akan bisa membantu orang tua kami sehingga mengurangi kepedihan mereka. Tetapi aku harus beda! Harus bisa menentukan nasibku sendiri! Tak akan kubiarkan lingkungan dan tradisi menentukan arah hidupku!

Akhirnya, aku memilih untuk mengembara keluar desa. Meminta Pak Dhe (paman) untuk mengizinkan saya tinggal di rumah beliau di Pecangaan, sehingga saya bisa sekolah di SMP N 1 Pecangaan, salah satu SMP favorit di Jepara, yang kini sudah bergelar RSBI (berstandar Internasional). Walau dengan resiko aku harus hidup jauh dari orang tua, dan dua minggu sekali baru bisa menatap senyum mereka.

Memasuki lingkungan kota, jiwa desaku merasakan keminderan yang sangat. Ditambah ada sekelompok orang yang tidak suka dengan kehadiranku, dan selalu menghardikku dengan kata-kata kasar, cacian, dan larangan untuk berteman, membuat mentalku semakin jatuh! Rasa percaya diriku pun hilang entah kemana, tak ada keberanian untuk bicara dan mencari teman, jiwa dipenuhi ketakutan dan kerendahan diri. Yang aku lakukan hanyalah belajar, belajar, dan belajar! Dari pulang sekolah sampai malam sebelum tidur, hari-hari ku hanya ditemani buku-buku sekolah atau buku bacaan dari perpustakaan sekolah; novel Empat Sekawan merupakan favoritku pada saat itu. Akan tetapi, aku boleh sangat bersyukur dari itu karena selama 9 kali pengambilan raport, aku selalu ranking 1, dan aku pun bisa lulus dengan nilai tertinggi dan satu-satunya siswa dengan nilai UAN Matematika 10.00, tiket yang membawaku untuk SMA.

Menjelang lulus SMP, pikiranku melayang kembali ke rumah ku di Plajan, memaksaku untuk mengurungkan mimpi besarku menempuh pendidikan, untuk bekerja sehingga meringankan beban orang tua dalam mencukupi kehidupan kami. Namun, guru-guru SMP saya sungguh mengagumkan! Mereka mampu menangkap mimpi dan potensiku. Empat orang guru, yang tak akan pernah kulupakan sepanjang masa, rela menghabiskan 1 hari untuk ke rumah saya dengan
naik bus, angkudes (angkutan pedesaan), dan ojek hanya untuk menyakinkan Berani Bermimpi!
kedua orang tua saya bahwa mereka akan berusaha mencarikan sekolah yang terbaik untuk saya.

Sebagai kompromi atas mimpi berpendidikan tinggi dan realita keterbatasan ekonomi kami, pikiran ku pun mengarah ke STM/SMK. Sederhana, aku hanya ingin segera berijazah SMA, yang agak tinggi rasanya bagi orang desa, kemudian bekerja. Sempat kuurungkan impian-impian tinggi laksana Ikal yang mulai tidak percaya lagi pada Arai untuk bisa kuliah di Sorbonne, Paris, di saat mereka lulus dari UI. Tapi,aku tetap nekat! Aku tidak ikut tes masuk SMK tapi malah mengikuti tes masuk di SMA kerjasama Indonesia Turki yang berada di Gunungpati, Semarang, bernama SMA Semesta Semarang. Sekolah yang mengajarkan pelajaran sains, matematika, dan komputer dalam bahasa Inggris, oleh guru-guru dari Turki.

Elang itu Mulai Terbang Menerjang Langit Luas...
Semasa SMA aku makin menjauh dari keluargaku, hanya bisa pulang sebulan atau bahkan terkadang dua bulan sekali. Namun di sinilah aku mulai berani semakin tinggi bermimpi dan memperluas horizon cakrawala pandanganku. Aku mulai mengenal bule, berkawan dengan siswa-siswa dari berbagai penjuru nusantara. mencoba ekstrakurikuler Karate, bermain bola, dan berdekatan dengan komputer. Meskipun aku belum bisa menghilangkan rasa mudah minderku.

Walau bagaimana pun aku mulai menikmati proses pertumbuhanku, serta lingkungan baru yang makin indah untuk terus bermimpi. Pada saat kelas 2, aku mulai mencoba mengikuti beberapa perlombaan, akademis maupun non akademis. Ada yang mengesankan, namun tidak sedikit yang terasa pahit. Aku pernah memegang trofi kebanggaan juara 1 lomba Matematika Berani tingkat Jateng serta tingkat kota Semarang. Aku pun juga pernah dihajar telak 8-0 tanpa balas pada Kejurnas Kumite Karate di Pekalongan.

Fase baru dalam hidup pun harus aku hadapi lagi. Untuk memenuhi mimpi besarku melihat Indonesia dari luar dan bisa menggenggam salju, aku melaui tahap demi tahapan dalam seleksi pertukaran pelajar Yasayan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan AFS Amerika Serikat. Luar biasa, pada saat kenaikan kelas menuju kelas 3, aku harus berkemas meninggalkan ibu pertiwi untuk mencicipi aroma kehidupan di negeri Paman Sam. Anak desa ini akhirnya bisa melihat dunia! Tak pernah sebelumnya naik pesawat, dan sekarang harus terbang tinggi ke benua lain.

New World! Great, this is The US After All
Bulan Juli 2005, aku beserta 90-an siswa terpilih dari Indonesia, dan lebih dari 600-an siswa lain dari berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim dikumpulkan di Hotel Hilton, Washington, D.C., untuk orientasi tentang kehidupan di Amerika Serikat. Kami juga bisa berjalan-jalan di Ibu kota AS tersebut. Itulah pertama kalinya aku berfoto di depan White House, Capitol Building, Lincoln Memorial, dan Washington Monument; tonggak penting dalam rantai sejarah perjuangan negara dengan 50 negara bagian tersebut.

Setiap pagi aku berjalan 1.5 km menuju Gaithersburg High School, sekolahku selama di Maryland, USA, sekolah yang menjadi simulasi kecil dari Amerika Serikat. Lebih dari 2000 siswa bersekolah disana, dengan berbagai ras dan warna kulit. Aku terkaget melihat fakta bahwa di daerahku jumlah orang kulit hitam, hispanik, dan kulit putih jumlahnya hampir berimbang. Juga sangat susah untuk masuk sistem pertemanan mereka karena teman bagi mereka biasanya orang yang sudah bersama sejak dari kecil. Berbeda dengan kita, mereka menganggap sangat biasa orang asing yang masuk ke negara mereka. Toh, hampir semua dari mereka juga orang asing.

Bulan-bulan pertama di AS, aku masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar. Aku masih susah mengikuti pelajaran di sekolah, berbicara dengan kawankawan sekelas, bingung dengan jadwal sholat yang setiap hari selalu berubah, kesulitan mencari kawan muslim di sekolah, belum bisa makan makanan mereka dengan nikmat (lidah Jawa ini memang susah diberi makanan Amerika), serta belum juga bisa menghafal jadwal dan rute bus kota.

Aku mendapat single-mom host family keturunan kulit hitam, Darlene, dengan 1 anak perempuan, Adrienne, dengan host grand-parents kulit putih. Suatu fenomena yang mengajarkanku atas fenomena rasisme pada masa lalu Amerika dan betapa ini sudah mulai berubah atas jasa sosok-sosok seperti mereka yang mau mengadopsi orang dari lain ras. Ketegaran dan kegigihan mereka begitu melekat padaku; bagaimana kerasnya perjuangan mereke menghadapi ketidakadilan rasisme.

Untuk memenuhi misi kebudayaan, aku pun beberapa kali presentasi tentang Indonesia pada siswa-siswa Amerika dengan memperkenalkan budayabudaya kita seperti Batik, makanan, dan mata uang kita. Pernah juga kami mengadakan pameran kebudayaan dengan mendirikan booth/stand tentang Indonesiam, serta pada malam Internasional, aku membawakan Tari Piring.

Terheran aku ketika terkadang aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dan hampir tidak masuk akal, “Orang Indonesia masih tinggal di rumah pohon ya?”, “Indonesia itu dekat Somalia kan?”, atau bahkan “Kalian masih belum pakai pakaian seperti kami, kan?” What in the world is wrong with those guys?!! Begitu pikiranku sontak menjawab. Aneh! Tapi itulah gambaran betapa sedikitnya mereka tahu tentang kita!

Waktu setahun dengan cepat berlalu dan pada bulan Juni 2006 pun aku harus kembali ke tanah air. Sebagai kenang-kenangan, host-fam ku pun mengajakku ke Manhattan, New York. Akhirnya kulihat dengan mata kepalaku sendiri Golden Bridge, Ground Zero, Time Square, hingga kami naik kapal kecil ke hadapan Patung Liberti.

Wake up! It's Time to Start A New Dream
Juli 2006, kakiku kembali menginjak bumi nusantara. Aku harus terbangun dari mimpi indahku dan kembali menghadapi segala liku kehidupan di tanah Indonesia. Masa terakhir SMA kulalui dengan agak aneh (minimal menurut sudut pandangku, saat itu). Aku harus sekelas dengan adik-adik kelasku, berusia lebih menuntutku untuk berprestasi dan bermimpi lebih tentunya. Aku pun mulai dikenal banyak orang, ibarat artis sekolah, walau jiwa desaku masih menempel di
benakku. Sangat lucu, saat orang lain bilang aku hebat, aku justru masih minder dan belum PD dengan kemampuanku. Setelah UN kami lewati, kami pun diwisuda dan kembali aku dinobatkan sebagai lulusan terbaik, melanjutkan tradisi yang sama semasa SD dan SMP.

Merantau di lain kota bukanlah hal baru bagiku, tetapi saat pindah ke Jogja terasa agak beda, orang tuaku pun tak tahu kalau aku sudah di Jogja. Bukan karena aku durhaka, tetapi aku tak ingin membuat mereka cemas dengan segala tetek mbengek masalah finansial, biarlah untuk sementara kugunakan uang tabunganku dahulu. Jogja? UGM? Dimana itu? Aku belum pernah menginjakkan kaki di bumi Sri Sultan sebelumnya. Aku melalui dua bulan pertamaku bagai ikan
yang baru dilepas ke lautan, terpukau dengan segala keadaan serta masih harus menggali sendiri pengetahuan dari lingkungan yang baru.

Aku melihat bumi perkuliahan di UGM begitu memukau mataku. Begitu banyak kesempatan untuk mengeksplor diri. Peluang untuk beraktivitas begitu beragam. “Inilah lahan bermimpiku yang baru!” Tahun pertama aku bergabung di KMTE (Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro UGM), BEM KMFT (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik), dan BEM KM UGM (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM) yang mendidikku dengan lika-liku politik kampus, walau aku pun tak begitu ahli disana. Hingga aku pun pernah 3 bulan tidak nge-kos dan tinggal di sekretariat BEM KMFT. Namun, yang jelas ketiga lembaga itu menumbuhkan kesadaran moral dan sosial padaku bahwa aku hidup tidak untuk diriku saja, namun ada hak orang lain dan masyarakat pada diriku. Itulah yang mendorong aku dan teman-temanku di Departemen SosMas BEM KM UGM secara rutin membina anak-anak jalanan di Ledhok, Timoho selama hampir 2 tahun.

Tantangan perekonomian memaksaku untuk harus pandai menyesuaikan diri dengan kenyataan. Selain kuliah dan organisasi tersebut, aku pun mencoba berjualan, menjadi penerjemah freelance Inggris-Indonesia, hingga menjadi tentor privat. Semuanya hanya untuk sekedar uang penjamin hidup di Jogja dan berlatih lebih mandiri dari beasiswa orang tua. Aku yang dari kecil sampai SMA sangat fokus pada akademis, kini pun lebih membuka mata dan mencoba memaknai lidup lebih luas. Rajin mengikuti seminar kepemimpinan, kewirausahaan, TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), sosial, jurnalistik, dan ekonomi-politik. Beberapa kali juga turut turun ke jalan menyuarakan aspirasi ketidaksetujuan pada pemerintah; salah satu yang paling ekstrim adalah pada 12 Mei 2008 bersama seluruh mahasiswa Indonesia berdemo di depan Istana Merdeka di Jakarta serta dengan segelintir mahasiswa teknik berdemo keliling jurusan mempublikasikan Tugu Rakyat yang kami usung ke Jakarta.

Semakin Berani Memupuk Mimpi
Tahun pertamaku berjalan sangat nyaman. Dua kali mendapatkan IP 4.00, mulai berkontribusi di lembaga, diterima di PPSDMS Nurul Fikri Regional III Yogyakarta, mulai nyaman dengan kehidupan kampus dan segala aktivitasku, serta yang paling penting, mulai menikmati realisasi mimpi-mimpi besar yang kumimpikan sebelumnya. Aku pun harus terus bermimpi lagi! Berani Bermimpi! Ekonomi Bukan Penghalang Prestasi Setelah aku menikmati masa 6 bulan dibina di PPSDMS Nurul Fikri, 3 semester kuliah, serta berorganisasi di BEM dan KMTE, aku pun kembali terbawa pada mimpiku: mendapat kesempatan untuk mewakili UGM dalam pertukaran
pelajar bidang TIK ke Korea Selatan selama 1 tahun di Daejeon University.

Again, Another Great Leap. It's Time for Korean Visit
“If you can dream it, you can do it.” (Walt Disney) Barangkali inilah puncak dari segala keberhasilanku di kampus, buah dari perjuangan selama 3 semester pertama di UGM, aku bisa belajar 1 tahun di salah satu pusat teknologi Asia, di Sillicon Valley-nya Korea, Kota Daejeon. Aku bisa kuliah di Korea Selatan selama 2 semester bersama 20 mahasiswa terbaik dari ASEAN, serta 2 bulan magang di UN-APCICT, lembaga training ICT milik PBB, selain juga jalan-jalan mengeksplorasi bumi Korea Selatan. Aku juga bisa mengikuti beberapa seminar internasional, berkunjung ke Kedutaan besar Indonesia dan Malaysia, mengikuti Taekwondo di Daejeon Univ, wisata budaya tradisional Korea, hingga homestay di rumah salah satu mahasiswa Daejeon University. Salah satu puncak kegiatan akademis selama di Korea terjadi ketika aku berhasil meraih Bronze Medal essay competition oleh Korea Times, mendapat GPA terbaik selama 2 semester disana, dan lulus ujian sertifikasi Java Programming.


Hal lain yang sangat berkesan bagiku adalah interaksi dengan para pekerja dan pelajar Indonesia lain di Korea Selatan. Para pekerja disana termasuk TKI dengan kehidupan yang mapan dan perlindungan tingkat tinggi. Kita (pekerja dan pelajar) bekerjasama melalui IMNIDA (Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon) untuk mengadakan bimbingan kelas komputer, bahasa Inggris, dan bahasa Korea bagi para pekerja. Kombinasi yang hangat.

Apa arti UGM?
Sungguh kuliah di UGM memberikan warna khas pada karakter pribadiku. Sebagai kampus kerakyatan, UGM mempunyai ciri khas jiwa kepedulian sosial yang tinggi, selain kompetensi pribadi yang unggul. Nilai inilah yang kupegang teguh selama belajar di kampus Bulaksumur ini. Dari ketika mengajar di panti asuhan semasa di BEM KMFT, atau pun belajar bersama anak-anak jalanan ketika di BEM KM UGM, hingga hidup mendalami perjuangan para pekerja di Korea Selatan. Hidup kampus kerakyatan Gadjah Mada!!!

TENTANG PENULIS
AHMAD NASIKUN adalah mahasiswa Teknologi Informasi, Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2009, Nasikun menjabat sebagai Kepala Departemen Pengembangan Sumber
Daya Manusia BEM KM Fakultas Teknik UGM sebelum selanjutnya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh ASEAN University Network (AUN) di Daejeon University, Korea Selatan selama satu tahun akademis. Program pertukaran pelaja ini Nasikun jalankan dengan tekun dan serius yang mana kemudian memberikan hasil akademis yang sempurna dan sangat memuaskan.

Selama masa studinya di Korea Selatan tersebut, Nasikun berhasil menorehkan tinta prestasi dengan meraih juara 3 pada lomba English Essay Writing yang diselenggarakan oleh Korea Times pada tahun 2010. Selain itu, Nasikun juga memperoleh kesempatan untuk malaksanakan magang selama dua bulan (Juli – agustus 2009) di United Nations-Asia and Pacific Training Center for Information and Communication Technology for Development. Sebagai aktivitas kegiatan non-akademis, Nasikun juga menjadi sukarelawan pengajar computer bagi pegawai Indonesia di Daejeon, Korea Selatan serta menjabat sebagai Dewan Pembina IMNIDA (Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon). Pengalaman serta pencapaian yang telah diperolehnya membuat Nasikun berhasil memperoleh Peringkat I pada Kompetisi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Universitas tahun 2010.

Desa Plajan Raih Juara Nasional Desa Peduli Hutan

Jepara kembali menorehkan prestasi dengan menjadi Juara Nasional Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari kategori desa peduli hutan pada tahun ini. Kali ini desa yang menjadi wakil adalah Desa Plajan Kecamatan Pakisaji. Prestasi ini mengulang sukses yang ditorehkan pada tahun 2009 dan 2010. Desa Damarwulan Kecamatan Keling dan Desa Sumanding Kecamatan Kembang juga berhasil menjadi Juara Nasional sebelumnya.

Penghargaan ini diserahkan langsung Kepada Petinggi Desa Plajan Marwoto oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada Jum’at (12/8) di Hotel Grand Cempaka Jakarta.

Prestasi yang diraih Desa Plajan karena kondisi dilapangan yang memang layak untuk meraih Juara Nasional sesuai penilaian lomba ini.

Desa Plajan sebelum maju ke Tahap Nasional, sudah berhasil menjadi Juara untuk tingkat Jateng. Keberhasilan Desa Palajan menjuarai ini juga terkait dengan banyak hal, demikian disampaikan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jepara, Sujarot.

Sujarot menjelaskan, kondisi hutan di Plajan memiliki jenis tanaman yang cukup banyak. Bahkan masyarakat desa juga memiliki inovasi dengan memanfaatkan hutan, menjadi wana wisata. Ini bisa terlihat kreativitas yang dikembangkan diobyek wisata Alam Akar Seribu dan Wisata Alam Goa Sakti.

Perbandingan keberadaan luasan lahan hutan rakyat di Plajan mencapai 42 persen atau seluas 455 hektar dari total lahan desa tersebut .

Masyarakat dengan kesadaran sendiri memanfaatkan lahannya yang kosong ditanami berbagai jenis tanaman. Langkah ini juga bisa menjadikan lereng muria ini semakin baik, serta memberikan aspek ekonomi. (Bivie Thohir Prayoga)

Kamis, 11 Agustus 2011

Desa Plajan Wakili Jateng

Kabupaten Jepara berhasil menempatkan Desa Plajan, Kecamatan Pakis Aji melaju ke tingkat nasional dalam lomba wanalestari kategori desa peduli hutan. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishubtun) Jepara Sujarot ditemui saat mengecek kondisi hutan kota di Stadion Gelora Bumi Kartini (SGBK) Jepara hari ini (24/6).

Sukses Desa Plajan melaju ke tingkat nasional diharapkan bisa mengulang prestasi sebelumnya. Pada 2009, Jepara yang diwakili Desa Damarwulan Kecamatan Keling berhasil menjadi juara satu. Prestasi yang sama juga diraih Desa Sumanding Kecamatan Kembang pada lomba desa peduli hutan pada 2010.

"Jadi untuk desa peduli hutan ini memang yang sudah jadi juara satu tidak boleh ikut lagi. Karena itu pada tahun ini yang ikut Desa Plajan dan secara lisan kami sudah diberitahu menjadi wakil Jateng untuk maju ke tingkat nasional," kata Sujarot.

Dia menjelaskan tim dari Jateng pada Rabu (15/6) sudah datang ke Desa Plajan untuk memberikan pendampingan sebagai bagian dari persiapan di tingkat nasional. Sebanyak enam orang pembina dari Jateng memberikan masukan untuk persiapan tersebut.

"Meski belum ada surat resmi tim dari Jateng sudah datang dan memberikan pengarahan. Bupati Jepara Hendro Martojo juga pada Kamis (23/6) juga sudah datang untuk memberikan dukungan," ucap Sujarot.

"Dalam pengarahan yang disampaikan Pak Hendro, masyarakat Desa Plajan diharapan bisa maksimal mempersiapkan diri untuk tingkat nasional. Harapannya prestasi dua tahun berturut-turut dalam kategori desa peduli hutan bisa dieprtahankan pada tahun ini. Salah satu yang sampaikan bupati juga adalah soal terus mempercantik wajag desa," sambungnya.

Disinggung soal nilai penting untuk sukses di tingkat nasional, Sujarot menjelaskan lebih pada inovasi dalam pengelolaan hutan desa. Ketika penilaian dasar tercukupi, yakni adanya kemauan desa untuk melestarikan dan mengembangkan hutan, maka penilaian berikutnya ada inovasi untuk pemanfaatan hutan desa.

"Di Plajan cukup banyak inovasi dengan memanfaatkan hutan desa untuk kegiatan outbound dan juga pernah menjadi tempat latihan SAR," tuturnya.

Sujarot menambahkan selain kategori desa peduli hutan, Jepara mengikuti lima kategori lagi yakni kelompok tani hutan rakyat, kecil menanam dewasa memanen, penyuluh kehutanan swadaya mandiri, petugas penyuluh kehutanan lapangan, dan kontes pohon sengon laut. kategori kelompok tani hutan rakyat diwakili Desa Watuaji, Kecamatan Keling. Kategori kecil mananam dewasa memanen (KMDM), lanjut Sujarot, diwakili MI Al Anwar Desa Tempur, Kecamatan Keling.

Kategori penyuluh kehutanan swadaya mandiri (PKSM) didelegasikan pada M Masruri, warga Desa Damarwulan, Kecamatan Keling. Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan oleh Mariono, petugas di Kecamatan Kembang. "Yang mendapat gelar selain Desa Plajan adalah kategori KMDM dengan meriah juara ketiga, sedangkan PKSM mendapatkan juara dua. Untuk kategori yang lain tidak dapat," ucap Sujarot.

Kamis, 21 Juli 2011

angge orong orong (lomba kotek Ds. Plajan).3gp



Minggu, 03 Juli 2011

Foto Kegiatan Karang Taruna "Bina Arga" Desa Plajan







Gambar Penanaman Kacang Panjang








Sabtu, 02 Juli 2011

Lagu Plajan Desa Wisata

warga Plajan tak henti-hentinya melahirkan musisi-musisi berkualitas, di Desa Plajan terdapat banyak kesenian dan kebudayaan, ntah itu yang modern atau tradisional. di antara kesenian-kesenian yang tradisional adalah ketoprak, wayang, emprak, reog dll. dan contoh kesenian yang moderen adalah seperti halnya orkes dan band. sebagian orkes dan band yang tenar dan terkenal di Jepara sebagian besar lahir dari desa Plajan, terutama personil-personil yang di dalamnya,
dan dalam bulan ini desa Plajan telah meluncurkan sebuah karya lagu yang berjudul "Plajan Desa Wisata". dan lagu tersebut adalah salah satu lagu pertama yang di luncurkan dan yang rencanaya di buat satu album dengan delapan lagu.

Lagu "Plajan Desa Wisata" dapat di download di link di bawah ini:

Download lagu Plajan Desa Wisata

kami segenap pencipta lagu "Plajan Desa Wisat" mengucapkan Terima kasih kepada tuhan yang maha esa. Sebuah karya, ide, gagasan, saran dan sumbangsih dari petinggi desa plajan, marwoto

“Plajan Desa Wisata”

Lagu: Indarmanto

Lirik:

Indarmanto

Marwoto (petinggi desa plajan)

Hadi Sutiyoso

Khoilisul Uyun

Vocal:

Khoilisul uyun

Arranger:

Indarmanto

Sholikul Hadi

Additional Musician:

Guitar: yanto “blozo”

Rythem: Mr Jebleng

Suling: Siyo “Dhebleng”

Sound enginer and digital mastering:

Hadi Sutiyoso

By: Akar Seribu Studio Plajan

Senin, 07 Maret 2011

Asal usul gadis kecil

oleh: Susi Nuryanti

pada 07 Maret 2011 jam 15:10

Aku terlahir sebagai anak desa yang letaknya terpencil, cukup dekat dengan kaki gunung Muria. Pemandangan didesaku masih sangat asri, bebas dari polusi udara. ketika cuaca cerah, di pagi hari aku bisa memandangi angkuhnya Muria. Wow, benar-benar indah dan semakin menakjubkan dengan hamparan pepohonan hijau dan padi yang menguning di depan mata.

Masa kecilku murni kuhabiskan di desaku itu, jarang kemana-mana. bahkan sampai sekarang pun jika ke kota Jepara, aku tidak hafal jalan, hanya menebak-nebak saja. Aku anak pingitan. Hendak mengerjakan tugas kelompok di rumah teman semasa SD saja temanku menjadi korban, dimarahi habis-habisan oleh ibuku. Ya, terserahlah,, itu jalan pikiran orang tuaku.

Aku kadang iri sama teman-temanku yang bisa saja seenaknya bermain kesana kesini tanpa pamit. Huhhh,, jadinya aku menjadi penakut dalam melakukan banyak hal. Di dalam hati ingin sekali bilang ini itu mau ini itu sama bapak ibuku, tapi takut. Akhirnya kupaksakan, dan lama-lama menjadi cukup nyaman dengan peran sebagai anak manis, gadis kecil imut yang baik tapi tidak bisa melucu karena tidak bisa bermain apa-apa.

Bapakku seorang tukang kayu. Beliau sangat profesional di bidangnya. Karya-karyanya indah, menarik, dan kreatif. Bagiku, apa yang ia ciptakan tidak berawal dari kemapanan, justru dari ketiadaan. Beliau piawai dalam menggabungkan bahan-bahan seadanya, baik yang baru, bekas, maupun limbah, untuk dijadikan sebuah benda yang menarik dan bermanfaat. Jika mungkin Tuhan memberikan keberadaan bagi bapakku, karir beliau di bidang permebelan bisa lebih dari yang sekarang. Sekarang beliau tetap menjadi tukang kayu, musiman. Musiman jika ada order, jika tidak, beliau menjelma menjadi petani beberapa petak sawah dan peternak beberapa kambing yang kami punya.

Semasa kecilku, beliau bekerja di kota. Pulangnya satu menggu sekali, di hari Jumat. Aku masih ingat, suatu ketika aku menangis karena ingin bertemu dengan beliau. Akhirnya tetanggaku yang memiliki kendaraan bermotor(waktu itu masih jarang sekali orang punya motor) mengantarku bersama ibuku ke kota untuk menyusul bapakku.

Ibuku awalnya seorang ibu rumah tangga. Beliau juga sempat disibukkan oleh tugasnya sebagai kader pkk desa. Semasa kecilku, beliau sering tidak di rumah. Kata Makdeku, aku sering dititipkan. Maka dari itu, aku sering nyusu makdeku, kadang rebutan dengan sepupuku. Setelah usiaku besar, kira-kira kelas 4 atau 5 SD, ibuku semakin tekun belajar ilmu perdukunan bayi, mulai memijat hingga membantu proses persalinan. Hingga sekarang beliau masih menjalani profesi itu. Di desaku tidak ada sistem rahasia mengenai pengguguran kandungan atau semacamnya, sehingga para dukun bayi di sana sangat dipercaya sebagai orang-orang yang profesional.

Aku pikir, dulu aku akan menjadi anak tunggal, ternyata kelas 3 SD adikku lahir. Namanya Liko. Ada rasa senang, tapi juga tidak senang. Rasa senang karena aku punya teman untuk digodai hingga menangis. hahaha. Rasa tidak senang, entah kenapa, dulu. dulu sekali, rasa kasih sayang itu tidak pernah tumbuh. Sekarang jadi merasa bersalah,, apa pun ingin yang terbaik untuk si Liko.

Sabtu, 12 Februari 2011

Kirap Gong Perdamaian Dunia dari Desa Plajan ke Ambon

Kesenian Emprak

Ditulis Oleh Syaiful Mustaqim
12-08-2009,
Kesenian Emprak yang populer di Jepara sekitar tahun 1980-an, kini sudah mulai hilang, tergantikan pergelaran musik dangdut, campursari, hingga pop, yang semakin merangsek ke desa-desa.
Emprak, merupakan kesenian tradisional yang dipopulerkan oleh Kyai Derpo tahun 1927 silam. Kesenian yang berasal dari Pleret (Mejing), Gamping, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan sarana untuk menyiarkan Islam dengan pembacaan tarikh (sejarah) Nabi. Kata emprak, berasal dari bahasa Arab imro’a yang berarti ajaklah: mengajak orang untuk menuju kebenaran ajaran Islam pada saat itu.

Di kabupaten Jepara, kesenian emprak sangat populer sekitar tahun 80-an. Hampir setiap hajatan (khitan maupun pernikahan) kesenian yang biasanya dipentaskan selama 8 jam (21.00-05.00) ini menjadi alternatif tontonan (hiburan) warga. Pada saat itu juga kesenian ini juga sering manggung--keliling desa satu ke desa lain.

Biasanya, kesenian yang dimainkan dengan pelbagai alat musik (kendang, kenting, kentung, ketuk, gong, kentongan, dan rebana) ini merupakan kolaborasi antara musik, cerita banyolan, tari, dan lantunan shalawat. Sesekali cerita berupa sejarah Nabi dengan pembacaan al-Barjanzi bisa juga sejarah perkembangan kota Jepara. Adapun bagi pemain berkostum ala pegunungan dan tidak ketinggalan tetap memakai kupluk (kopyah) bayi.

Memprihatinkan
Tahun 80-an silam barangkali sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Apa sebab? Dulunya, sentra kesenian emprak berpusat di beberapa kecamatan: mulai Bangsri, Mlonggo, Keling, Pakis Aji dan Kembang. Namun saat ini eksistensinya telah dimakan oleh kejamnya zaman. Sebab, kondisinya kini semakin memprihatinkan. Komunitas Emprak Sidomukti (asal Kepuk, Bangsri) pimpinan Kasturi dan kawan-kawan saja yang masih bertahan.

Kondisi itu, tentunya dipengaruhi oleh maraknya musik beraliran kontemporer: dangdut, pop, rock dan jazz. Sehingga, emprak barangkali dianggap pertunjukan jadul yang tidak layak lagi dipertontonkan untuk sekarang ini.

Dalam rangka menjaga eksistensi warisan nenek moyang itu, ada ikhitar baik yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) kabupaten Jepara bidang kebudayaan yakni kesenian emprak akan dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada (28/07) mendatang. Mereka akan menjadi duta budaya asal Jepara. Sehingga secara tidak langsung kesenian emprak masih menjadi salah satu ikon budaya resmi asal kota Jepara (Radar Kudus, 05/04).

Diakui atau tidak: kesenian yang masih digeluti oleh Kasturi dan kawan-kawan ini sebenarnya dipengaruhi oleh minimnya regenerasi. Tentunya penerus emprak pasca Kasturi dkk belum ditemukan. Sehingga mudahnya kesenian ini akan menanti ajalnya jika tidak segera dicarikan generasi-generasi baru.

Masalah regenerasi barangkali bisa diatasi dengan dipelajari oleh semua kalangan utamanya kalangan yang berkecimpung dalam bidang kesenian. Emprak tentunya bisa masuk dan dipelajari maupun dipentaskan oleh pelajar maupun mahasiswa. Mudahnya, agar kesenian ini tetap eksis penggiat seni di sekolah, kampus maupun komunitas yang mendalami kesenian sudah saatnya menggelutinya. Jika hal itu dilakukan, alhasil emprak akan tetap lestari.

Penulis pun sepakat dengan apa yang akan dilakukan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Jepara bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Jepara. Kedua lembaga ini berencana akan memasukkan kurikulum kesenian tradisional di bangku sekolah: salah satunya pendalaman materi tentang kesenian emprak. Selain itu: materi tentang wayang klitik dan ludruk (Radar Kudus, 05/04).

Perlu Diselamatkan
“Mustahil,” hal itu yang bisa saya katakan, barangkali saat ini tidak akan ditemukan warga Jepara rela nanggap (baca: diundang untuk pentas) emprak setiap kali ada hajatan (khitan maupun pernikahan) digelar. Sebaliknya, mereka akan lebih mantap manakala mendatangkan orkes dangdut dengan goyangan-goyangan yang asoi dan aduhai. Atau, band-band lokal yang siap menghibur tuan rumah.

Tanpa undangan resmi: kedua tontonan tersebut seringkali dibanjiri oleh fans (penggemar) beratnya. Meski terkadang ajang adu jotos kerap mewarnai pertunjukan itu yang disebabkan dendam sebelumnya ataupun akibat minum-minuman keras sehingga: senggol dikit langsung jotos.

Tentunya hal itu akan berbalik 360 derajat manakala emprak dipertontonkan. Apa sebab? Meski kesenian ini barangkali tidak akan mengundang kejahatan, namun jika dipertontonkan barangkali akan sepi oleh pengunjung.

Nah, kesenian ini sudah saatnya untuk diselamatkan sebelum ajalnya tiba. Pemerintah daerah semestinya sering mempertontonkan emprak pada acara resmi yang diselenggarakan oleh kabupaten. Semisal: peringatan hari jadi kota Jepara, hari Kartini dan acara resmi yang lain.

Selain itu, Festival Emprak juga layak diadakan. Hal ini tentunya untuk memikat generasi muda untuk menggeluti kesenian yang hampir punah ini. Para peminat dan pecinta seni seharusnya juga memperhatikan kesenian ini untuk dipelajari dan dilestarikan keberadaannya.

Emprak, merupakan kesenian tradisional islami yang kudu diselamatkan. Islami dalam arti pembacaan sejarah Nabi diiringi dengan alunan musik, tari, juga cerita banyolan yang sering menghiasi pagelaran kesenian ini. Upaya penyelamatan brilian oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang akan menggelar pentas emprak di TMII Juli mendatang tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Akan tetapi, juga diperlukan agenda brilian yang lain.

Pun demikian, rintisan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga yang berencana akan memasukkan materi kesenian tradisonal (emprak: salah satunya) dalam muatan lokal di bangku sekolah bukan hanya sekadar wacana akan tetapi perlu direalisasikan secepatnya. Sehingga, kesenian ini bisa menuai kejayaan kembali laiknya tahun 80-an silam. Semoga!

Kesenian Ketoprak




Ketoprak adalah kesenian rakyat yang memadukan seni drama, musik, dan sastra sekaligus. Kesenian ini tumbuh subur di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta sebagian daerah Jawa Timur.

Kesenian ini bermula dari permainan rakyat menabuh lesung pada bulan purnama yang disebut gejogan. Awalnya, tabuhan lesung ini menjadi pengiring nyanyian dolanan, yang kemudian dimasukkan unsur cerita ke dalamnya sehingga membentuk suatu teater sederhana. Keanggunan sastra terlihat pada penggunaan bahasa yang indah dan sastrawi.

Ketoprak semakin menemukan bentuknya dengan rangka penopang berupa cerita Babad Tanah Jawa. Cerita tersebut sangat menarik. Apalagi, diperkaya dengan cerita-cerita legenda bahkan mengadaptasi cerita dari luar negeri. Meskipun begitu, ketoprak tidak pernah memainkan lakon yang diambil dari repertoar Mahabharata maupun Ramayana. Karena Jika memainkan keduanya bukan disebut Ketoprak tetapi Wayang wong (orang)

Beberapa lakon ketoprak yang terkenal misalnya: Darma-Darmi, Kendana-Gendini, Aryo Penangsang Mati Ngadeg, Warok Suramenggala, Abdul Semararupi, Panji Asmarabangun, Klana Sewandana, Ande-ande lumut, Anglingdarma, Rara Mendut-Pranacitra, Damar Wulan, dan sebagainya.

Mengungkap Kesenian Wayang Kulit


WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang artinya menuju kepada yang maha esa, . Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.


Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur.

Pembuatan

Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses memjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda. Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.

Dan di Desa Plajan sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah ini.

Kesenian Jaran Kepang


Kesenian jaran kepang yang kini sudah menjadi bagian kegiatan berkesenian masyarakat Jawa Timur, dulu kesenian ini dilakukan tidak sebatas bentuk pengisi acara hiburan semata, tetapi jaran kepang memiliki tujuan sebagai acara ritual penolak bala.

‘Bala’ diartikan sebagai hal yang negative, bisa diartikan sebagai penyakit, atau sesuatu yang ditimbulkan karena pengaruh-pengaruh yang berasal dari mahluk halus.

Jaran kepang biasanya sebagai kelengkapan pengiring “Reog” bersama tokoh lain seperti ‘macan putih’ dan ‘jatilan’. Namun dalam perkembangannya. Jaran kepang saat ini membentuk kelompok seni tersendiri.

Seperti ‘Jaranan’ dan ‘Kuda Lumping’ Di beberapa daerah kesenian jaran kepang digunakan sebagai pengiring sesaji dalam tradisi upacara seperti ‘metri bumi’ atau penghormatan pada leluhur cikal bakal berdirinya suatu wilayah atau ‘bedah krawang‘.

Jaran kepang biasanya juga ada yang menyebutnya dengan sebutan kuda lumping. Arti jaran kepang kira-kira demikian. Jaran artinya kuda.

Dan kepang artinya ikatan bagian belakang, biasanya mengenai rambut. Jadi makna jaran kepang adalah kuda yang rambutnya diikat di belakang. Ikatan rambut kuda sebenarnya adalah juntaian rambut yang ada di punggung leher kuda.

Dalam simbol yang ada pada perangkat alat yang dijadikan sebagai sosok kuda (terbuat dari anyaman bambu). Rambut tersebut terjalin atau terikat atau terkepang pada bagian punggung leher kuda dari atas hingga dekat pelana. Seperti gaya rambut ‘punk rock’.

Atau jambul pada perisai kepala pasukan romawi. Semakin lebat dan panjang. Akan semakin nampak sangar dan keren. Rambut biasanya terbuat dari ijuk kelapa. Berwarna hitam kasar namun lentur. Bila menggunakan bulu kuda asli akan lebih memberi nilai. Seakan ada ‘roh’ nya.

Jaran kepang adalah suatu bentuk tarian penunggang kuda. Namun dalam hal ini kuda yang digunakan bukanlah kuda sesungguhnya.

Sebagai gantinya untuk visualisasi, sosok kuda atau badan kuda terbuat dari bilahan anyaman bambu yang dirangkai sedemikian rupa. Dengan penambahan asesori serta pewarnaan sehingga bentuknya menyerupai kuda.

Bagian yang tidak boleh diabaikan adalah persiapan sebelum pagelaran diadakan. Penyelenggara terlebih dahulu berkomunikasi dengan kepala kelompok paguyuban jaran kepang.

Mengenai apa saja yang harus dipenuhi Kepala kelompok paguyuban akan mempelajari sejenak situasi penyelenggara. Kemudian memberi persyaratan yang harus dipersiapkan dan disediakan.

Dupa atau kemenyan adalah benda yang selalu tidak pernah ketinggalan. Keharusan memenuhi persayaratan adalah syarat utama untuk menghindari dari hal-hal yang tidak dikehendaki selama penyelenggaraan pagelaran berlangsung.

‘Trans’ atau kesurupan adalah hal yang selalu terjadi selama pagelaran berlangsung. Pemain yang kesurupan tidak satu, dua.

Biasanya nyaris semua pemain mengalami kesurupan. Kesurupan terjadi setelah formasi tarian penunggang kuda yang pada awalnya lembut mengikuti irama musik pengiring.

Kemudian berubah menjadi liar diawali suara lecutan ‘pecut’ atau cemeti yang meledak-ledak di udara. Pemain menari tidak lagi dalam formasi kelompok.

Masing-masing menari dengan liar sekehendak hati. Lantunan tabuhan gending dan lagu memberi suasana magis ditambah lagi tebaran aroma kemenyan yang menyeruak di sekitarnya.

sumber: http://www.liburanseru.com/

Mengenal Seni Karawitan

Asal Muasal Gamelan dan Karawitan

Perangkat musik gamelan lengkap yang kita ketahui sekarang pada mulanya hanya diawali dengan satu alat bunyi saja yaitu Gong. Kemudian pada perkembangannya, ada penambahan sejenis gong kecil yang disebut kempul namun jumlahnya masih terbatas lalu seiring dengan kebutuhan musikalitas dari jaman ke jaman yang berkembang, barulah ada penambahan alat-alat lainnya. Seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional gamelan disebut Seni Karawitan.

Asal kata Karawitan itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta, yakni rawit, yang mempunyai arti keharmonisan, elegan dan kehalusan. Namun menurut pendapat yang lain, karawitan berasal dari kata pangrawit yang berarti orang atau subjek yang memiliki perasaan harmonis dan halus. Adapula yang berpendapat bahwa karawitan itu berasal dari kata ngerawit yang dalam bahasa Jawa artinya sangat rumit. Jadi memainkan karawitan itu tidak hanya sekedar menghasilkan bunyi-bunyian tapi memang harus memaknainya secara mendalam melalui gendhing (lagu-lagu) yang dibawakan dalam seni karawitan karena gendhing-gendhing tersebut berpengaruh pada sikap kehidupan manusia, misalnya ada nama gendhing yang merujuk pada keselamatan dan permintaan. Semua gendhing yg diciptakan itu juga berkaitan dengan segala kehidupan yang ada di dunia ini.

Secara mudah dipahami, Karawitan adalah bentuk orkestra dari perangkat musik gamelan.

Pembagian Tugas di dalam Seni Karawitan

Di dalam seni karawitan, pembagian dilakukan atas dasar cara pandang yg dikategorikan menjadi instrumen depan (ricikan ngajeng) dan instrumen belakang (ricikan wingking). Instrumen depan tidak berarti hanya berada pada posisi depan saja, namun memiliki keunggulan-keunggulan intelektual, karisma, kerumitan dan kemampuan sehingga biasanya instrumen yang terletak di depan itu dimainkan oleh mereka yang tingkat kemampuan dan kompetensinya tinggi, menguasai kerumitan garap (penguasaan alat) sehingga mereka berhak dan layak memainkan instrumen-instrumen di depan. Instrumen depan itu diantaranya gender, rebab, gambang dan bonang. Sedangkan instrumen belakang dalam pengertian kemampuan masih sedehana dan belum bisa menyamai kerumitan permainan instrumen depan.

Walaupun demikian, pemain yang mendapatkan peran berada pada posisi instrument belakang tidak berarti ia kurang pandai karena di dalam seni karawitan, semua pemain harus mampu memainkan alat gamelan yang berada di depan maupun belakang. Perbedaan kemampuan terletak pada tabuhannya, pemain pemula biasanya masih menggunakan tabuh satu sedangkan pemain yang sudah mahir sudah bisa memainkan alat dengan tabuh dua.

Jika anggota pemain seni karawitan terdiri dari anggota masyarakat yang memiliki strata sosial berbeda, bukan berarti yang berhak memainkan instrumen depan adalah mereka yang memiliki strata sosial lebih tinggi karena semua ditentukan berdasarkan kemahiran memainkan alat musik gamelan itu. Siapapun yang berada pada posisi instrumen depan harus dipatuhi oleh instrumen belakang.

Karawitan dan Konsep Kebersamaan

Dalam seni karawitan tercipta kondisi kegotongroyongan, saling menunggu, saling menghargai antara instrumen satu dengan yang lainnya. Seperti contohnya, jika Gong yang dipukul agak terlambat dari ketukannya, maka pemain yang memegang instrumen lainnya akan tetap menunggu sehingga pengrawit yang bertanggung jawab atas instrumen Gong memiliki tanggung jawab yang besar untuk tidak melakukan kesalahan supaya tidak membuat pengrawit yang lain menunggu.

Manajemen kebersamaan dalam seni karawitan itu terjadi secara otomatis karena adanya pembagian peran sesuai dengan instrument depan dan belakang seperti yang dijelaskan diatas. Garap satu dengan yang lain dilakukan pula harus secara bersamaan, tidak bisa mandiri atau berdiri sendiri kecuali ketika memang disengajakan adanya ilutrasi tunggal seperti menyuling tetapi konsep musikalitasnya tetap harus bersama-sama supaya dapat menghasilkan suara ‘stereo’ yang indah antara instrumen satu dengan lainnya.

Di dalam seni karawitan itu juga ada pembagian-pembagian wilayah kerja yakni dari yang memimpin lagu, yg memimpin irama ada, kemudian ada yang menjadi pelaksana irama, semuanya secara otomatis bekerja dengan kerjasama yang baik. Karakteristik para pengrawit itu sendiri biasanya agak berbeda dengan karakteristik pemain teater atau penari karena bagi pengrawit yg sudah menep (memiliki pengendapan rasa), mereka biasanya tidak bisa hidup sendiri (tidak bersikap individual).


Karawitan dan Latihan Kepemimpinan

Pemimpin bunyi di dalam seni karawitan dipegang oleh seorang pengendang. Sebagai seorang pemimpin bunyi, ia harus menyadari perannya sebagai pemimpin yaitu memahami pemegang bunyi yang lain, tidak diktator dalam artian tidak bisa seenaknya membuat tempo cepat atau lambat sesuai kehendaknya seperti posisi konduktor dalam orkestra. Demikian pula untuk pemangku lagu atau pendukung irama seperti saron, demung dan instrument-instrumen lain yang sifatnya mendukung maksud dari pimpinan bunyi itu juga harus bisa menyesuaikan dengan instruksi dari yang disampaikan oleh pengendang dan tidak bisa seenaknya berdiri sendiri. Dengan demikian seni karawitan dapat melatih seorang untuk tidak sombong, melatih kesabaran, dan menumbuhkan sikap kearifan bahwa setiap peran sekecil apapun dalam karawitan membutuhkan kerjasama tiap-tiap pengrawit untuk mengimplementasikan perannya dengan baik supaya suara yang dihasilkan dapat berbunyi dengan rapih. Uniknya dalam seni karawitan, tidak ada konduktornya yang memimpin sehingga keharmonisan dilandaskan pada kesadaran tiap pemain akan peran masing-masing sehingga tiap pengrawit melatih memimpin diri sendiri, memimpin orang lain (pengendang) dan dipimpin (pendukung irama).

sumber: http://www.terrajawa.net/kepribadian_detail.php?artikel_id=46

Minggu, 06 Februari 2011

VALENTINE Day's 2011 in AKAR 1000, PLAJAN

emm...
VALENTINAN enaknya kemana za?????
mending kita ke PLAJAN aja lah,,, disana kan udah adem n' ada penampilan musiknya juga loh....
so...
buat lo lo lo yang suka sama musik, monggo hari minggu tanggal 13 pebruari 2011 sekitar pukul 10.00 WIB berkunjung ke akar seribu, disana ada penampilan band-band papan atas Jepara, n salah satunya adala STAR'S Band, siapa si yang gak tau STAR'S Band heee.
selain itu anda bisa menikmati keindahan dan kesunyian desa plajan khususnya keindahan di AKAR 1000. jadi jangan sampai terlewatkan yah....
'n jangan lupa bwa pacarya,keluarga, tetangga, tukang bakso, tukang soto. hihihi...

pokoknya jangan sampai terlewatkan deh!!!!!!!!!